Lantai yang Retak

マイ
5 min readMay 5, 2024

08 November 2023, sudut pandang orang ketiga

“Sumpah si Iyo bener-bener,” keluh Indira sambil matanya merenung sekeliling rumah Satrio yang terbungkus debu tebal. Arsitektur klasik Belanda yang seharusnya memancarkan kemegahan, kini terlihat layaknya peninggalan zaman prasejarah. Meskipun Satrio lebih sering menghabiskan waktunya di rumah Indira, penampakan ini tidak bisa dibiarkan. Dengan tekad yang baru, Indira memutuskan untuk secara rutin merawat dan membersihkan rumah ini, menyapu debu yang telah menyatu dengan ingatan di setiap sudut.

Ketika ia tengah asyik mengelap jendela, suara tiba-tiba memecah keheningan dari luar, “Satrio? Kamu pulang nak?” terdengar seseorang memanggil. Suaranya sangat dikenal oleh Indira, namun ia kesulitan mengidentifikasinya pada saat itu.

Saat sosok itu muncul, Indira membeku. Ibu Iyo, dengan postur tegap dan aura yang sama mengintimidasi seperti dulu.

“Indira? Ngapain kamu di sini?” tanya Ibu dengan nada tajam yang menyayat. Suara yang langka terdengar, tapi masih mampu membuat Indira gemetar.

“Oh… ya, Bu… Indira ma – “ belum sempat Indira melanjutkan, Ibu mulai mendekat, membuat Indira mundur secara refleks. “Bukankah saya sudah meminta kamu untuk menjauhi anak saya, ya?” Deg. Kata-kata itu menusuk langsung ke hati Indira. Tubuhnya membeku. Dia tidak bisa merespons – bahkan bergerak pun terasa sulit karena jantungnya terasa tenggelam.

Pesannya masih terngiang di ingatan Indira, saat pertama kali ia tiba di Surabaya, “Jangan hubungi anak saya lagi, Indira. Kamu sudah membawa pengaruh buruk pada anak saya,” kata perkata pesan itu masih terlihat dengan jelas. “Sejak anak saya mengenal kamu, dia tidak pernah mendengarkan saya lagi. Dia selalu bertindak sesuai keinginannya dan ingin terus bersamamu. Jadi, tolong jauhi dia.”

Kenangan pahit itu layaknya belati yang menusuk ulu hati Indira, memaksa dia untuk menelan kepedihan yang berkepanjangan. Hari-hari berlalu ia lewati dengan renungan yang mendalam dan menyakitkan, saat dia mempertanyakan peran serta dampak keberadaannya terhadap orang lain. Apakah selama ini dia tidak lebih dari sekadar awan kelabu dalam kehidupan mereka? Renungan inilah yang mengubah Indira secara drastis, mendorongnya ke dalam lubang isolasi yang dalam. Dia menjadi lebih pendiam, mundur dari pergaulan, dan perlahan kehilangan setiap teman yang pernah ada di sisinya. Kondisi ini bukan hanya menyiksa, tapi juga mengikis jiwa Indira ke titik terendahnya.

“Kenapa kamu kembali lagi? Bukankah kamu sudah pindah ke Surabaya?” Ibu masih bertanya dengan nada mendesak. “Jadi, selama ini, kamu masih berhubungan dengan anak saya?”

Dalam kebekuan suasana yang memekakkan itu, Indira hanya mampu berdiri diam, badannya diliputi rasa takut yang mendalam. Ketakutan yang lama itu kembali menerpa dengan ganas saat tatapan Ibu menembus pertahanannya, seolah-olah memanggil kembali semua kenangan menyakitkan yang pernah dia pendam. Air mata mulai menetes perlahan dari sudut matanya, tiap tetes menggambarkan patah hati dan ketakutan yang tak pernah terucap.

“Jadi, selama ini Indira ngejauhin aku karena Ibu?” Baik Indira maupun Ibu terkejut; ternyata Iyo menyaksikan semuanya. “Nak, kamu sudah pulang?”

“Siapa ‘nak’ yang Ibu maksud?” Iyo bertanya, membuat Ibu Iyo semakin menyalahkan Indira. “Ini semua gara-gara kamu berkawan dengan dia.”

“Apa maksud Ibu? Sejak berkawan dengan Indira, aku jadi pembangkang?” Tanya Iyo dengan nada yang sudah mulai meninggi, tetapi sang Ibu memotong, sambil sesekali memukul dadanya. “Kalau saja Ibu dan Ayah tidak terlalu sibuk dulu, mungkin kamu tidak akan bergaul dengannya, Nak,”

“Dan sekalinya kalian nggak sibuk, kalian cuman bisa berantem” timpal Iyo lagi.

“Ibu dan Ayah bertengkar itu karena pekerjaan, Nak,” sahut Ibu, namun Iyo melanjutkan, “Tapi Ibu sama Ayah berantem hampir setiap kali kalian pulang. Ibu tau nggak siapa yang ngasih makan aku disaat Ibu dan Ayah nggak pulang-pulang?”

“Indira, Bu. Keluarganya Indira,” jawab Iyo, suaranya semakin lantang.

“Ibu tahu nggak siapa yang nemenin aku, ngehibur aku disaat Ibu sama Ayah berantem seharian full bahkan sampe lempar-lemparan vas bunga?”

“Indira juga, Bu,” jawab Iyo lagi, matanya sekarang berkaca-kaca.

“Indira yang selalu nemenin aku. Indira yang selalu nenangin aku. Indira yang selalu ngajak aku makan, yang selalu mengajak aku belajar juga. Indira nggak pernah sekalipun ngasih pengaruh buruk buat aku,” tegas Iyo, suaranya cukup lantang.

“Justru, Ibu sama Ayah yang bawa pengaruh buruk buat hidup aku,” lanjutnya, nada suaranya menunjukkan keputusasaan.

“Kalau harus jujur, Ibu sama Ayah bawa trauma yang besar bagi aku. Apa Ibu nggak sadar kalau apa yang kalian lakuin setiap hari itu bikin aku takut? Apa Ibu pernah sekali aja terbesit mikirin aku? Mikirin aku yang kalian tinggalin seminggu – bahkan sampai sebulan, setiap kali datang cuman bisanya berantem, saling bentak, dan lagi-lagi aku yang selalu kena imbas dari emosi kalian.”

“Tapi, kami kan selalu memenuhi semua kebutuhan kamu, Nak,” bujuk Ibu Iyo yang sedang mencoba membela diri.

“Kalau yang aku butuhin kasih sayang dari kalian, gimana?” tantang Iyo, matanya kini penuh dengan air mata.

“Kalian emang selalu ngefasilitasi hidup aku, tapi anak mana yang di usia 5 tahun dikasih uang tanpa diajarkan cara ngelolanya gimana? Cara beli makan? Bahkan kalian aja nggak pernah stock makanan bulanan buat aku,” tambah Iyo, suaranya sekarang hampir berbisik.

Indira sangat memahami luapan emosi yang Iyo curahkan. Dia telah ada di sana saat kejadian itu, menjadi saksi bisu atas segala perjuangan dan kesulitan yang Iyo hadapi. Setiap kata yang keluar dari mulut Iyo adalah cerminan dari kepedulian dan dukungan yang pernah Indira berikan.

“Dan setelah apa yang udah Ibu lakuin, Ibu nyuruh Indira buat jauhin Iyo? Di mana hati Ibu? Apa Ibu pengen liat aku ancur? Kesepian? Nggak punya tempat pulang? Apa dengan aku menderita itu bikin ibu puas?”

Kata demi kata, Iyo melepaskan aliran emosi yang meluap-luap. Dengan suaranya yang gemetar dan tatapan yang berkobar, dia mencoba menjelaskan kepada Ibunya betapa pentingnya pengertian, betapa mendesaknya bagi Ibu untuk memahami posisinya. Iyo merasa seakan-akan kebahagiaannya, yang sudah rapuh di tengah-tengah kisah hidup yang sangat keras, kini diperebutkan. Kebahagiaan itu, yang hingga saat ini dia pertahankan dengan gigih, adalah Indira.

“Ibu tau nggak? Selama Indira pergi, hidup aku hancur, Bu.”

“Ibu dan Ayah udah ninggalin aku, ditambah Indira juga ninggalin aku – yang ternyata semua berawal dari Ibu.”

“Indira adalah satu-satunya orang yang berarti buat aku. Indira adalah satu-satunya orang yang bikin aku bisa bertahan sampai detik ini,”

“Jadi, kalau Ibu masih ada sedikit rasa sayang sama aku, tolong, biarin aku bahagia sama pilihan aku. Aku cuman pengen itu aja, Bu. Aku nggak akan nuntut apa pun dari Ibu lagi,”

“Harusnya Ibu berterima kasih sama Indira, karna dia udah ngebentuk diri aku yang sekarang. Bukan malah nyuruh jauhin. Apakah Ibu bener-bener Ibu kandung aku?” Kalimat terakhir Iyo ucapkan dengan nada yang cukup nyaring, sesekali menatap wajah Indira yang tidak berhenti menangis, sebelum dia pergi.

Saat itu, mungkin untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ibu Iyo merenungkan dampak nyata dari kata-katanya dan tindakannya terhadap anaknya. Dalam kesunyian yang berat itu, helaan napasnya terdengar berat, sementara penyesalan menggantikan keberatan hati yang biasa dia rasakan. Ketidakmampuan untuk membantah atau berbicara apa pun mungkin merupakan pengakuan tidak langsung dari kesalahannya sendiri – sebuah momen introspeksi yang mendalam yang jarang dia izinkan untuk terjadi.

Pada akhir pertemuan yang penuh ketegangan itu, saat Iyo berbalik untuk pergi, tangan Indira yang semula berpegangan erat mulai melonggar. Iyo, dengan langkah yang berat, memberikan perintah terakhir yang terasa seperti pukulan telak, “Aku pulang dulu ke Jakarta ya, nanti aku kesini lagi kalau emosi aku udah reda. Maaf,”

Itu bukan hanya kalimat perpisahan, tetapi sebuah simbolisasi dari pintu yang tertutup sementara. Indira berdiri di sana, tak mampu bergerak, sementara sosok Iyo yang perlahan menjauh menjadi kabur di balik selubung air mata yang tak kunjung berhenti.

--

--

マイ
マイ

No responses yet