Jakarta, 23 May 2019.
Dengan hati berat, Ale memasuki dunia abu-abu apartemen Dhiza. Atmosfer terisi ketegangan yang tak terucapkan, menciptakan awan-awan keheningan yang menegang. Wajah Ale menjadi refleksi dari beban berita pahit yang dibawanya, dipenuhi oleh lapisan emosi dan kekecewaan.
“Za,” bisik Ale, suaranya seakan menggambarkan getaran kekecewaan dan ketidaksetujuan. “Aing butuh penjelasan sia sekarang.”
Dhiza, dihadapkan pada kilatan mata Ale yang memancarkan kekesalan, berusaha menenangkan, “Le, diuk heula.” — “Le, duduk dulu”
Namun, Ale, tanpa memberi ruang untuk pembelaan, melepaskan gelombang kemarahannya. Pukulan demi pukulan terarah, seperti koreografi rasa sakit yang tak terucapkan. “Tong basa-basi, anjing! Lanceuk aing menderita gara-gara sia! Empat bulan manehna ngurung diri dikamar, pagaweanna ceurik teu eureun-eureun! Sia kudu ngarasakeun nu lanceuk aing rasakeun, anjing.” — “Jangan basa-basi, anjing! Kakak aku menderita gara-gara kamu! Empat bulan dia ngurung diri dikamar, kerjaannya nangis ngga berhenti. Kamu harus ngerasain apa yang kakak aku rasain, anjing!”
Dhiza, terhuyung-huyung, berusaha menyampaikan alasan yang terpendam, “Le… kela dengekeun aing hela.” — “Le, bentar dengerin aku dulu”
Namun, Ale, dalam lautan emosinya, memutus kata-kata Dhiza, “Heeh sok jelaskeun ka aing, anjing.” — “Iya sok jelasin ke aku, anjing”
Dhiza, terengah-engah, berusaha menjelaskan, menciptakan panggung konfrontasi yang dipenuhi dengan lapisan-lapisan emosi dan pertanyaan yang belum terjawab.
Sementara Ale dan Dhiza terjerat dalam tarian emosi yang rumit di apartemen yang hening, ruang penuh dengan gelombang ketegangan dan kata-kata yang terengah-engah. Pukulan yang dilemparkan Ale menciptakan distorsi dalam keheningan, mencerminkan rasa sakit yang mendalam.
Dhiza, yang berusaha menjelaskan, terus bergumam, “Aing mau jelasin gimana kalo sia pukulin terus, anjing!” — “Aku mau jelasin gimana kalau kamu pukulin terus, anjing!”
Namun, suara Dhiza tenggelam di tengah gemuruh emosi. Ale, masih terhanyut dalam kemarahannya, terus memberi pukulan yang mencerminkan getaran perasaan yang tak terungkap. Pada saat yang sama, ruang itu seakan membeku, menyimpan kisah-kisah yang belum terungkap di balik puing-puing hubungan yang tercabik-cabik.
Dengan setiap pukulan yang dilemparkan Ale, suasana apartemen semakin terasa tegang. Dhiza, yang terhuyung-huyung, mencoba memahami apa yang dapat dia katakan untuk meredakan kemarahan Ale.
“Pukul aing terus, Le, tapi plis nanti dengerin penjelasan aing,” ujar Dhiza dengan napas tersengal-sengal, mencoba merangkul Ale dengan kata-kata.
Ale, setelah sejenak membiarkan kemarahannya mereda, akhirnya memberi kesempatan pada Dhiza untuk menjelaskan. “Sok jelaskeun.” Ale menatap Dhiza dengan mata yang masih memancarkan kekesalan, tapi ada keraguan di sana.
Dhiza, meski terluka dan penuh rasa bersalah, mulai membagikan cerita yang selama ini terpendam. “Le, sebenernya ini bukan kemauan aing, tapi agensi. Ayah masuk RS deui Le. Aing bingung harus gimana soalnya Ibu udah gamau kenal Ayah lagi sedangkan Ayah sama istri barunya beberapa kali minta bantuan aing. Yaudah aing coba bantu dengan cari bantuan ke Manager bahkan Direktur aing datengin. Sampe akhirnya aing tau kalau ternyata Ayah punya utang hampir 3M, utang ke Direktur aing itu. Dan ternyata, Agensi ini nerima aing karna dari Ayah ngejadiin aing jaminan. Setiap royalti aing turun, aing selalu dapet 30%. Aing marah? Jelas, Le. Aing marah pisan. Tapi aing gak bisa apa-apa karna liat kondisi Ayah udah sekarat pisan.” Dhiza diam sejenak, air matanya mulai turun sembari mengatur nafas yang tersengal-sengal.
“Sampe akhirnya Diretur nawarin aing pinjeman dan semua utang bakal lunas, asalkan aing mau pacaran sama keponakannnya, Lyra.” Dhiza melanjutkan ceritanya. “Awalnya aing gamau, Le, tapi ngeliat Ayah sampe sujud sujud ke aing, mana tega aing nolak…” lanjut Dhiza “Makanya aing terima tawaran itu. Kenapa pas aing putusin Kala, HP aing gak aktif? Whatsapp dia di blokir sama si Lyra, Le. HP aing juga diawasin selama 2 bulan ini sama agensi. Aing frustasi,” ucap Dhiza sembari mengacak-ngacak rambut sudah acak-acakan sedari tadi.
“Le, aing gak berharap sia maafin aing karna aing tau aing udah brengsek sama Kala. Aing udah ninggalin dia yang selama ini selalu ada buat dia, bahkan aing gak ada kalimat perpisahan apapun ke dia. Aing salah, Le.” Dhiza menegaskan. “Aing cuman pengen ngejelasin yang sebenernya aja. Hidup aing gak tenang anjing selama ini, Isel sampe masuk RS gara-gara lambungnya kambuh mikirin aing, Ibu bahkan gatau ini semua. Kalo Ibu tau bisa bisa jantung Ibu kumat deui, Le.”
Lapisan emosi dan konflik yang memenuhi ruang apartemen merajut harapan untuk pemahaman dan penyembuhan. Ale, meskipun masih terombang-ambing di lautan perasaannya, mulai meresapi setiap kata dalam penjelasan dari Mahatva.